Alih Status ASN: Kudeta Senyap dan Penghancuran KPK Tahap Akhir
Alih Status ASN: Kudeta Senyap dan Penghancuran KPK Tahap Akhir
Empat tahun telah berlalu sejak momentum paling kontroversial dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia: peristiwa pelantikan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) pada 1 Juni 2021. Bagi sebagian orang, itu adalah bagian dari penyesuaian kelembagaan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Namun bagi banyak lainnya—terutama para mantan pegawai yang tersingkir—peristiwa itu adalah peristiwa kelam, bab terakhir dari sebuah lembaga yang dulu digdaya melawan para koruptor kelas kakap. Salah satu suara yang paling konsisten menyuarakan luka sejarah ini adalah Novel Baswedan, mantan penyidik senior KPK yang turut menjadi korban dari proses yang disebutnya sebagai “manipulatif dan sistematis”.
Dalam pernyataan reflektifnya pada 1 Juni 2025, Novel menyebut alih status pegawai KPK menjadi ASN sebagai “penghancuran KPK tahap akhir”. Kata-kata itu bukan hanya kritik keras, tetapi sebuah peringatan tentang betapa seriusnya pelemahan institusi yang seharusnya berdiri paling depan dalam melawan kejahatan korupsi di republik ini. Ucapan Novel mencerminkan jeritan keadilan dari banyak pihak yang merasa bahwa Indonesia telah kehilangan salah satu tonggak penting dalam demokrasi dan supremasi hukum.
Bagi Novel, tes wawasan kebangsaan (TWK) bukanlah sekadar prosedur administratif atau mekanisme penyaringan loyalitas terhadap negara. TWK, dalam pandangannya, adalah alat untuk menyingkirkan orang-orang yang dianggap terlalu berani, terlalu vokal, dan terlalu independen di dalam KPK. Orang-orang yang telah membongkar kasus-kasus besar yang menyentuh tokoh politik, elite partai, hingga penegak hukum sendiri. Dalam konteks ini, TWK menjadi senjata politik. Ia dijalankan bukan untuk memperkuat kelembagaan, melainkan untuk menciptakan rasa takut, untuk melumpuhkan semangat pemberantasan korupsi, dan pada akhirnya untuk mengamputasi bagian-bagian KPK yang paling efektif dan berani.
Tidak dapat disangkal bahwa banyak dari 75 pegawai yang tidak lulus TWK adalah sosok-sosok kunci dalam penyelidikan kasus besar. Mereka adalah para penyidik yang terlibat dalam pengungkapan megakorupsi e-KTP, kasus-kasus bansos COVID-19, hingga skandal suap di sektor peradilan dan infrastruktur. Ketika mereka disingkirkan, bukan hanya sumber daya manusia yang hilang. Hilang pula memori kelembagaan, integritas, dan kultur perlawanan terhadap tekanan politik. Yang tersisa hanyalah lembaga kosong yang terjerat dalam birokrasi dan tunduk pada hirarki kekuasaan formal ala ASN.
Dalam banyak negara, independensi lembaga antirasuah adalah syarat mutlak agar pemberantasan korupsi berjalan efektif. Sebab, musuh utama dari korupsi bukan hanya para pelaku di sektor publik dan swasta, tetapi juga sistem yang menormalisasi impunitas. Lembaga seperti KPK dulu didesain sebagai otoritas khusus yang tidak tunduk pada kekuasaan eksekutif manapun. Dalam tubuh ASN, pegawai KPK otomatis masuk dalam struktur yang terikat oleh loyalitas birokratis. Mereka bukan lagi penyidik independen, melainkan penyidik ASN yang dalam sistem hukum di Indonesia tunduk pada mekanisme pengawasan internal kementerian/lembaga, termasuk Polri dalam hal koordinasi penyidikan (Korwas PPNS).
Inilah yang dimaksud dengan “penghancuran tahap akhir”. Setelah Undang-Undang KPK direvisi pada 2019, yang secara substansi telah memangkas kewenangan penting seperti penyadapan tanpa izin dewan pengawas dan pelemahan fungsi independen penyelidikan, maka TWK menjadi pukulan penutup. Ia bukan hanya memindahkan status pegawai, tetapi mengubah DNA lembaga. Yang dulu mandiri dan progresif, kini menjadi lembaga yang dikekang oleh sistem birokrasi negara yang selama ini menjadi bagian dari masalah.
Novel Baswedan tidak bicara dalam ruang hampa. Dia mewakili rasa kecewa dan frustasi banyak elemen masyarakat sipil yang telah lama memperjuangkan integritas KPK. Mereka melihat betapa agenda pemberantasan korupsi kini menjadi samar. Kasus besar makin jarang disorot, aktor intelektual kerap luput dari jerat hukum, dan semakin terasa bahwa penegakan hukum digunakan secara selektif—kadang menyerang lawan politik, kadang ditunda untuk kepentingan pragmatis.
Lebih ironis lagi, KPK kini berada dalam bayang-bayang konflik kepentingan yang mencemaskan. Setelah reformasi 1998, bangsa ini mencoba membangun sistem hukum yang bisa menembus kekuasaan dan oligarki. KPK adalah simbol dari upaya itu. Tapi kini, sebagaimana disinyalir oleh para akademisi seperti Zainal Arifin Mochtar dari UGM, KPK hanya tinggal nama. Secara hukum masih ada, secara formal masih berfungsi, tapi secara ruh dan integritas, nyaris tak bisa dikenali lagi.
Maka, bagaimana masa depan penegakan hukum di bidang korupsi?
Kita melihat sebuah pergeseran kekuatan ke institusi lain, terutama Kejaksaan Agung. Dalam beberapa tahun terakhir, Kejaksaan tampak lebih aktif menangani kasus besar seperti korupsi BTS, kasus Jiwasraya, hingga perkara ekspor-impor yang melibatkan pejabat tinggi. Namun, dominasi kejaksaan juga tidak lepas dari pertanyaan besar: seberapa independen institusi itu dari kekuasaan eksekutif? Sebagai lembaga yang berada langsung di bawah Presiden, Kejaksaan Agung berada dalam posisi yang rawan intervensi. Tidak seperti KPK yang dulu relatif otonom, kejaksaan bisa dengan mudah diwarnai oleh agenda politik penguasa.
Artinya, keberhasilan kejaksaan memberantas korupsi sangat bergantung pada komitmen politik Presiden dan elite kekuasaan. Ketika kepentingan mereka selaras, penindakan bisa cepat dan tegas. Tapi ketika menyentuh lingkar kekuasaan sendiri, ada kemungkinan perkara dibelokkan, ditunda, atau dikubur pelan-pelan. Ini adalah risiko yang sangat besar, dan sekali lagi memperlihatkan pentingnya lembaga independen seperti KPK yang benar-benar bebas dari tarik-menarik kekuasaan.
Dalam suasana yang suram seperti ini, pertanyaan mendesak yang harus kita jawab bersama adalah: apakah kita masih memiliki harapan untuk membangun sistem pemberantasan korupsi yang kuat, jujur, dan berkelanjutan?
Jawabannya tidak mudah. Tapi yang jelas, harapan itu tidak akan lahir dari sikap pasrah. Kita membutuhkan konsolidasi kekuatan masyarakat sipil, media yang berani, kampus yang kritis, serta dorongan publik yang masif untuk membangun kembali kepercayaan pada sistem hukum. Kita harus terus mengingat peristiwa seperti TWK bukan sebagai lembaran usang, tapi sebagai pelajaran pahit tentang bagaimana lembaga kuat bisa dijinakkan dengan cara yang tampaknya legal, tapi sejatinya merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi moral bangsa.
Penghancuran KPK bukan hanya persoalan institusi, melainkan juga tragedi sosial. Ia meninggalkan luka kolektif dan rasa kehilangan yang dalam. Tapi dari reruntuhan itulah seharusnya kita membangun kesadaran baru: bahwa pemberantasan korupsi bukanlah proyek elit, melainkan kewajiban rakyat. Dan selama masih ada keberanian, integritas, serta tekad untuk melawan korupsi di setiap sudut republik ini, maka perjuangan itu belum sepenuhnya kalah.
Novel Baswedan telah mengingatkan kita. Kini giliran kita untuk menjaga agar ingatan itu tidak hilang.
Debora, dan Widodo berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Apa Reaksi Anda?






